Minggu, 05 Desember 2010

Bincang-bincang
Indonesia Bagai Mutiara Dalam Air

Pada Jumat (3/12) pagi, tiga wartawan Jurnal Nasional Ayu Lazuardi Mutmainnah, Taufan Sukma dan Suhartono berkesempatan bincang-bincang dengan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan di kantornya yang sejuk di Jakarta.

Gita bercerita tentang investasi Indonesia, jawaban terhadap kritikan tentang nasionalisme ekonomi, dan daya tarik Indonesia di mata investor dunia. Kinerja makroekonomi yang bagus dan konsisten, membuat Indonesia kini sudah masuk radar investor dunia. Indonesia, menurut Gita, kini bagaikan mutiara yang sudah terlihat di air. Bukan lagi mutiara dalam lumpur. Berikut petikan perbincangan dengan Gita.

Bagaimana investasi di Indonesia terutama di 2011?

Prospeknya lumayan positif. Tapi ini semuanya benar-benar tergantung penyikapan kita mengenai pembangunan infrastruktur dan ini sudah seringkali dibicarakan. Ini tergantung penyikapan pemerintah pada Public Private Partnership (PPP) atau Kemitraan Pemerintah Swasta. Kita sedang mengupayakan Perpres terkait PPP. Mudah-mudahan kita harapkan selesai dalam 1 sampai 2 bulan ke depan. Itu akan mendefinisikan investasi di 2011 seperti apa. Kemarin sudah ditandatangani MoU dengan Bappenas dan Kemenkeu untuk kepentingan BKPM menjadi pintu gerbang dalam PPP.

Pak Gita pernah bilang Kemitraan Pemerintah Swasta atau PPP ini menjadi taruhan Bapak. Bisa dijelaskan?

PPP bukan hanya mendefinisikan kita saja di BKPM tapi akan mendefinisikan kapasitas kita mendatangkan investasi dari dalam dan luar negeri dengan skala yang jauh lebih besar karena tentunya tanpa infrastruktur, kita akan biasa-biasa saja. Walaupun kalau kita lihat sekarang realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun ini pada tiga kuartal pertama kan sudah Rp149,6 triliun. Itu sudah sedikit di bawah target untuk setahun yaitu Rp160,1 triliun. Itu kalau kita lihat per kuartalnya sekitar Rp50 triliun, kalau untuk satu tahun kurang lebih bisa Rp200 triliun. Ini bisa dibilang lumayan bagus kalau dibandingkan tahun lalu yang hanya Rp133,3 triliun.

Tapi apakah angka ini akan terus bisa meningkat? Itu kan asumsi gampang. Tapi asumsi gampang itu hanya bisa terealisasi kalau ada prasarana, infrastruktur. Tanpa ada jalan dan pembangkit listrik saya rasa kecil kemungkinannya.

Saya mau kasih konteks lagi. Jadi target kita untuk lima tahun, 2009-2014 itu adalah Rp1500 triliun untuk PMA serta PMDN. Dan itu dalam konteks Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebesar Rp10.000 triliun.

Porsi PMA serta PMDN lima tahun itu Rp1500 triliun. Kalau kita mencapai Rp200 triliun di tahun pertama, sisanya itu kan masih ada Rp1300 triliun dibagi empat. Itu Rp325 triliun rata-rata per tahun. Jadi kalau saya hitung kasarnya itu tahun 2014 kita harus mencapai realisasi investasi sekitar Rp550 triliun. Ini fantastis kan? Ini kalau mikir gampanglah. Nah, apakah kita bisa mencapai Rp550 triliun? Saya rasa tidak gampang tanpa dukungan dari prasarana.

Kedua, angka investasi sudah meningkat secara keseluruhan dan angka PMDN sudah meningkat secara persentase. Terus yang ketiga, distribusi modal ke luar Jawa sudah meningkat. Lima tahun sebelumnya sampai tahun 2009, 80 persen penanaman modal di Jawa, 20 persen di Sumatera, Kalimantan dan ribuan pulau lainnya tapi mayoritas di Sumatera dan Kalimantan.

Sekarang kurang dari 80 persen di Jawa, lebih dari dua puluh persen di luar Jawa dan lebih spread out (menyebar). Sudah lumayan banyak ke Indonesia Timur. Kita upayakan bagaimana kita meningkatkan kuenya dan persentase PMDN dan juga persentase non Jawa. Itu misi kita.

PPP, perkembangannya bagaimana?

Jalan tapi ini kan banyak instansi. Dengan Kementerian Perhubungan, Wapres, Menko Perekonomian, Pemda di level Gubernur dan Bupati. Makan waktu tapi saya sih optimistis tahun ini Perpres jadi. Plus minuslah satu dua bulan.

Padahal masalah terbesar di Indonesia adalah koordinasi. Ada solusi?

Solusinya ketabahan dan kesabaran (seraya tertawa..hahaha). Kita harus ikhlaslah. Banyak teman-teman saya di luar yang lihat Indonesia begini putus asa tapi banyak juga yang lihat ini opportunity (peluang). Kalau saya melihat opportunity-nya luar biasa. Indonesia ini tesis investasi yang sangat seksi.

Bisa dijelaskan ide Anda tentang smart capital?

Smart capital itu pemikirannya lebih kepada supaya uang yang datang ke Indonesia jangan mengambil emas kita saja, batu bara kita saja, bauksit kita saja tapi kalau bisa ada alih teknologi. It makes Indonesia smart. Duit yang ditaruh di sini itu dipakai untuk mengelola sumber daya kita sehingga ada value creation (penciptaan nilai) di Indonesia. Membuat kita belajar dan juga bisa jadi entrepreneur. Nah, ini kan ada konsep kemitraan dan investasi dari luar. Itu smart menurut saya.

Untuk mendatangkan uang dari dalam dan luar negeri itu tidak sulit asalkan kerangka regulasinya jelas. Investor lihatnya gampang. Ada stabilitas, ada keamanan, dan ada kepastian hukum dan tentunya ada pasar. Dan penyikapan mengenai tesis investasi di Indonesia itu straight forward (langsung menuju sasaran) sekali. Jadi, sangat menarik. Populasinya 240 juta, demografiknya 60 persen di bawah 39 tahun dan 50 persen di bawah 29 tahun. Dan komitmen pemerintah untuk mengedukasi masyarakat luas itu luar biasa dibandingkan lima sampai enam tahun yang lalu. Semakin orang itu berpendidikan tentunya semakin dinamis populasinya.

Stabilitas makro yang ada secara fiskal, GDP rasio utang kita 27 persen, defisit anggaran kita cuma 1,6 persen. Moneter kita situasinya sangat terjaga. Suku bunga Bank Indonesia tidak pernah naik dari 6,5 persen. Dan secara keseluruhan likuiditas yang ada di perbankan yang dollar saja di atas US$30 miliar dan yang rupiah di atas Rp600 triliun. Lalu cadangan devisa kita sudah US$93 miliar. Kalau dibandingkan apalagi negara-negara Eropa, dengan negara-negara Asia lainnya juga saya rasa postur fiskal dan postur moneternya nggak secantik Indonesia. Investor manapun juga pasti akan tertarik Indonesia.

Indonesia seperti mutiara dalam lumpur?

Sudah tidak di lumpur lagi. Kalau menurut saya sudah di air sekarang. Sudah kelihatan. Tinggal airnya agak keruh sedikit. Bagaimana kita membersihkannya. Dan penyikapan investor tidak perlu hari ini selesai. Tapi bagaimana lima sampai sepuluh tahun ke depan.

Perekonomian kita sekarang sudah US$700 miliar. Kalau kita ekstrapolasi di tahun 2020 mestinya sih US$2 triliun. By that time (sampai tahun 2020 itu), populasi kita diramal masih di bawah 300 juta jiwa, sekitar 260 juta. GDP per kapita kita sudah hampir US$10.000-lah. Kalau mengacu ke ucapannya Pak Boediono (Wakil Presiden), demokrasi sudah sangat bisa suistanable kalau GDP sudah sekitar US$6.000. Mestinya tahun 2019-2020, potret dan corak Indonesia sudah berbeda.

Kalau prediksi Goldman Sachs, pendapatnya agak beda dengan saya. Mereka beranggapan Indonesia tahun 2019-2020 hanya bisa tumbuh dengan US$400 miliar sampai US$500 miliar dari sekarang. Kalau sekarang US$700 miliar dolar, jadi perekonomian kita tahun 2019 atau 2020 itu hanya US$1,1 triliun atau US$1,2 triliun. Saya kurang sepakat. Menurut saya sudah bisa melampaui US$2 triliun kalau kita tumbuh 6 persen per tahun. Apalagi kalau bisa 7,8 atau 9 persen.

Tentang nasionalisme ekonomi. Ada kritikan yang katanya Anda membela asing. Lalu bagaimana Anda menjawabnya?

Jelasnya, kami memprioritaskan permodalan dari dalam negeri. Namun perlu keterbukaan untuk memenuhi capaian kesejahteraan. Tentu hal tersebut diwujudkan dengan penuh kepekaan dan pengabdian terhadap prinsip kedaulatan. Saya menghormati dan menghargai pandangan yang berbeda-beda. Apalagi mengingat tujuan yang ingin kita capai sama. Yaitu kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.



Soal persepsi buruk Indonesia di luar?

Sudah mulai berubah. Lihat saja angkanya. The number speaks. Angka bisa meningkat lumayan baik karena sudah terjadi perubahan persepsi. Saya memang waktu awal menceritakan Indonesia terlalu sering tampil di media internasional atau prisma internasional sebagai negara yang penuh dengan demonstran. Orang bawa bendera, masuk ke pengadilan untuk putusan korupsi, korban dari tsunami, gempa bumi. Yang begitu-begitu saja.

Orang lupa bahwa di belakang itu ada potret-potret yang cantik mengenai Indonesia dari sisi politik dan perekonomian. Itu tetap saya ceritakan tapi saya ceritakan itu dengan realisme tertentu. Dalam arti saya tidak mau terlalu bombastis juga karena kalau saya swing pendulumnya dari kiri ke kanan terlalu cepat dan terlalu awal. Bablas nanti kalau saya tidak bisa memberikan beberapa hal yang saya janjikan dan saya tidak bisa memanage audience. Jadi secara realistis saja saya cerita.

Oke, saya terima ada kondisi-kondisi yang memang tidak bisa kita elakkan dalam arti gempa bumi terjadi, tsunami terjadi, memang masih ada korupsi. Tapi penyikapannya apakah kita punya kapasitas untuk mengurangi korupsi yang ada? Tentu dong. Kita sudah menaruh ratusan orang dalam penjara. Dan ke depannya ini akan lebih banyak lagi kawan-kawan yang muda, yang lebih educated (berpendidikan) dan berpikir dalam abad 21 ini.

Tentang kebijakan quantitative easing atau pencetakan uang dari Amerika Serikat. Ada pendapat arus modal yang nantinya akan deras masuk ke Indonesia itu nantinya bisa membuat inflasi tinggi. Padahal Indonesia butuh modal. Bagaimana?


Mengenai quantitative easing di Amerika, money supply yang diciptakan bank entral AS ini kebanyakan akan digunakan untuk membeli obligasi pemerintah AS. Sejauh ini jumlah quantitative easing yang akan disalurkan sampai akhir triwulan ketiga 2011 US$900 miliar. Sebagian dari jumlah ini tentu akan meluap dalam bentuk arus

modal yang meningkat ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Tapi saya

tidak membayangkan bahwa porsi dari jumlah ini adalah cukup besar untuk menimbulkan inflasi di Indonesia. Prospek likuiditas tersebut akan mungkin masuk dan akan menyerap instrumen-instrumen yang ada di Indonesia. Kemungkinan terjadinya pelemahan kurs dolar Amerika atas hal tersebut tentu akan ter-offset hal-hal seperti terjadinya krisis keuangan di beberapa negara di Eropa, termasuk Irlandia.

Ke depan apa yang harus dilakukan Indonesia?

Pertama, tentunya image building, counter opinion. Opini-opini negatif tentang Indonesia harus kita terima dan harus kita lawan. Yang kedua, tentunya penyisiran kerangka regulasi supaya layak dan adil untuk pengusaha dalam negeri dan luar negeri. Yang ketiga, tentunya bagaimana kita bisa benar-benar menyikapi investment roadmap (peta jalan investasi) kita yang kalau saya lihat terdiri dari empat fase.

Fase pertama, bagaimana kita bisa mendatangkan duit ini dengan skala besar dalam konteks low hanging fruits, buah-buah yang gampang dipetik. Jadi tentunya, duit-duit yang masuk buat ngambil batu bara kita tangkap lalu kita edukasi mereka. Jangan mengambil batubaranya, kalau bisa bangun pembangkit listriknya di sini. Jangan mengambil minyaknya, bangun kilangnya di sini.

Yang kedua, fase pembangunan infrastruktur yang lunak dan nonlunak. Yang lunak seperti pendidikan, yang nonlunak jalanan dan pembangkit listrik. Yang ketiga adalah fase industrialisasi. Ini penting sekali. Kita tidak bisa berpikir jualan batu bara saja. Kita harus naik tingkat.

Kalau kita memikirkan industrialisasi, ibunya industrialisasi ini adalah baja. Negara kita ini masih mengonsumsi baja 30 kilogram (kg) baja per kapita per tahun. Itu dalam konteks pemikiran internasional, kita masih belum menjadi bangsa yang modern. Bangsa yang modern itu adalah bangsa yang sudah mengonsumsi baja sekitar 500 kg per kapita per tahun. Korea Selatan saja sudah mengonsumsi sekitar 1200 kg per kapita per tahun.

Nah, untuk naik dari 30 kg ke 500 kg agar kita bisa menjadi bangsa yang modern, kita harus meningkatkan kapasitas produksi baja menjadi sekitar 120 juta ton per tahun. Kita hanya punya kapasitas produksi 3 juta, konsumsinya 7,2 juta. Ini kita harus bangun sekitar 113 juta ton kurang lebih butuh dana US$120 miliar karena per satu juta ton butuh US$1 miliar.

Jadi pilihannya ada di tangan kita, mau jadi bangsa yang modern atau tidak. Kalau kita mau menjadi bangsa yang modern, kita harus berani mengeluarkan uang US$120 miliar untuk membangun kapasitas produksi baja sebesar 120 juta ton per tahun agar kita bisa mengonsumsi baja sebesar 500 kg per tahun per kapita.

Baru peta jalan investasi keempat fasenya knowledge basical (berbasis ilmu pengetahuan). Di mana kita bisa memposisikan Indonesia sebagai negara berpengetahuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar