Minggu, 26 Desember 2010

2011 Momentum Perbaiki Hubungan Industrial

DI tahun 2011, persoalan hubungan industrial menjadi sesuatu yang krusial untuk ditangani. Pasalnya, hal tersebut akan berpengaruh pada daya saing industri kita. Hubungan indusrial kita saat ini masih tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara pesaing seperti India dan China. Demikian disampaikan Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Sjukur Sarto, Kamis (23/12) di Jakarta.
“Kita kalah saing kalau 2011 tidak jadi titik tolak. Harus ada komitmen pemerintah untuk mensinkronkan hubungan industrial di Indonesia, termasuk mensinkronkan Undang-Undang,” katanya.
Menurut Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Rekson Siklaban, ada 3 hal yang menjadi musuh utama buruh di tahun 2010. Pertama, persoalan outsourcing dan buruh kontrak. Berdasarkan data Bank Dunia, sekarang ini persentase buruh permanen di Indonesia tinggal 35 persen. Padahal, lima tahun yang lalu masih 67 persen.
“Berarti, dari angkatan kerja formal yang jumlahnya 33 juta, hanya 9 juta saja yang memiliki pekerjaan permanen dan skenario hidup sampai pensiun,” katanya.
Rekson mengatakan, persoalan outsorcing dan buruh kontrak berkaitan erat dengan pengangguran terselubung. Data pemerintah menyebutkan, pengangguran terbuka saat ini 8,6 persen atau 9,2 juta orang. Akan tetapi , jumlah pengangguran terselubung yang bekerja di bawah 36 jam per minggu jarang disebutkan. Saat ini, jumlah pengangguran terselubung terus membengkak menjadi 32 juta dan semuanya sangat miskin.
Sistem outsorcing tidak selalu bagus. Outsorcing hanya bagus di tempat-tempat tertentu yang membutuhkan komitmen dan relasi jangka pendek.
Musuh kedua adalah Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Dulu, lembaga ini dianggap sebagai lembaga yang menyelesaikan masalah tenaga kerja secara adil. Kenyataannya, inilah lembaga yang diharapkan tidak bisa dimasuki buruh.
Proses peradilan yang lama, bisa memakan waktu 3 hingga 4 tahun, membuat buruh biasanya langsung menyerah. Kalaupun kemudian buruh menang, ada masalah dalam eksekusi. Lima tahun terakhir, dari keseluruhan kasus, 85 persen berakhir dengan kekalahan buruh atau negosiasi.
Musuh ketiga berkaitan dengan pengawasan. Meskipun ada Keputusan Presiden mengenai desentralisasi pengawasan, tetapi persoalan pengawasan tetap menghantui dunia perburuhan.
Menurut Rekson, akar dari seluruh permasalahan ini adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Angka outsorcing dan buruh kontrak terus memburuk sejak pelaksanaan UU tersebut. Jumlah kasus yang dimenangkan buruh di PHI pun terus menurun. Selain itu, tidak ada sanksi yang jelas dalam UU tersebut terkait pelanggaran terhadap buruh outsorcing dan kontrak.
“Kalaupun masuk pengadilan, tidak ada sanksi uang atau pidana,” katanya.
Rekson mengatakan, permasalahan ini semakin memburuk karena dipolitisasi. Menurutnya, ada pihak tertentu yang menggunakan draft palsu revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 untuk mengagitasi buruh turun ke jalan dan menolak revisi UU tersebut. Padahal, draft tersebut belum pernah dibicarakan di tripartit karena masih menunggu penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
“Seringkali, yang lebih banyak ke jalanlah yang didengar dengan dasar populis. Lembaga-lembaga fungsional harus mengambil alih fungsinya dengan benar dan pengambilan keputusan DPR tidak boleh berdasar rumor. Jangan lagi mobilisasi massa yang dipengaruhi politik menjadi dasar kebijakan pemerintah. Tunggu LIPI sehingga perdebatannya merupakan hasil kajian akademis,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi turut menyayangkan beredarnya draft palsu revisi UU Nomor 13 Tahun 2003. Pihaknya menyayangkan jika tekanan berupa penolakan revisi UU tersebut yang didasarkan pada draft palsu menjadi dasar keputusan DPR.
“Itu bukan dari LIPI, kami sudah cek,” katanya.
Terkait persoalan outsorcing, Sofyan menegaskan, ia sangat ingin para pengusaha tidak melakukan hal tersebut.
Menurut Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Thamrin Mosii, terkait persoalan ketenagakerjaan, seluruh pihak terkait harus duduk bersama. Walaupun DPR mengatakan UU Nomor 13 Tahun 2003 belum masuk prioritas tahun ini, tetapi perlu ada diskusi yang melibatkan semua pihak untuk melihat bagaimana solusi yang terbaik.
“KSPI melihat bahwa instrumen yang sekarang perlu dikedepankan adalah dialog sosial,” katanya.
Thamrin menambahkan, ia berharap di 2011 pemerintah segera menyelesaikan persoalan terkait UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
“Kami sangat mengharapkan pemerintah dengan segala kesungguhan menyelesaikan itu dan yang sangat urgent diharapkan serikat pekerja adalah Jamsostek harus bergeser dari payung BUMN yang orientasinya sekarang profit, bukan service. Memang harus jadi tanggungjawab pemerintah dalam kelembagaan, tapi jangan dalam bentuk BUMN. Jaminan sosial orientasinya pelayanan, bukan profit. Saat ini manfaat Jamsostek belum terasa,” katanya.
Selain itu, pemerintah juga harus bersiap diri terkait konsensus baru mengenai domestic workers oleh International Labour Organization (ILO) di 2011. Pemerintah harus menyiapkan respon sehingga konvensi itu bisa jadi UU di negara kita dalam rangka perlindungan pekerja rumah tangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar