Senin, 19 April 2021

Belajar dari Anak-Anak

Hari ketujuh Ramadhan 1442 H, kedua anak saya masih menjalani puasanya dengan ceria. Anak pertama berusia tujuh tahun dan anak kedua berusia lima tahun. Ini tahun kedua mereka menjalani puasa satu hari penuh. Satu minggu berlalu di Ramadhan tahun ini dan syukurlah mereka menjalaninya hampir tanpa keluhan sama sekali. “Gimana Dek, rasanya puasa?” iseng saya bertanya pada anak kedua saya. “Seru!” ujarnya Jawaban yang cukup mengejutkan bagi saya. Di antara semua kemungkinan jawaban, saya tidak menduga satu kata itu dia pilih untuk mewakili perasaannya tentang menjalani puasa. Seru katanya, seperti sedang bermain atau berpetualang saja. Sepanjang hari, mereka tetap beraktivitas seperti biasa. Sesekali berlari ke sana kemari dan tetap berceloteh tiada henti. Ibunya terheran-heran sendiri. “Apa nggak lemes ya lagi puasa?” pikir saya. Kreativitas mereka pun tetap mengalir tiada henti di tengah puasa. Baik kreativitas menggambar, menulis, membuat prakarya, menciptakan lagu sesuka hati, atau tiba-tiba kepikiran pengen bikin sendiri makanan/minuman yang sedang mereka inginkan untuk berbuka nanti. Seperti kemarin, si sulung tiba-tiba berkata, “Aku pengen bikin es krim.” Maka dia cari tau sendiri bahan-bahan yang diperlukan apa dan mengerjakannya bersama-sama adiknya. Saya hanya menemani berbelanja bahan-bahan yang dibutuhkan dan mengawasi mereka. Seringkali, saya yang sudah lebih berumur inilah yang belajar banyak pada anak-anak. Seiring dengan bertambahnya usia, kadang ada hal-hal yang sesungguhnya baik dan masih saya perlukan dalam menjalani kehidupan malah terlupakan. Dua pasang mata itulah yang selalu saja mengingatkan. Mengingatkan tentang antusiasme, semangat, dan kreativitas tanpa batas. Menjadi seorang ibu seringkali adalah tentang menjadi murid. Tentang belajar tiada henti dan siap ketika tiba waktunya ujian. Tentang mengamati dan menemukan kembali hal-hal yang terlupakan. Dan kedua anak saya adalah guru-guru paling menyenangkan.