Minggu, 26 Desember 2010

2011 Momentum Perbaiki Hubungan Industrial

DI tahun 2011, persoalan hubungan industrial menjadi sesuatu yang krusial untuk ditangani. Pasalnya, hal tersebut akan berpengaruh pada daya saing industri kita. Hubungan indusrial kita saat ini masih tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara pesaing seperti India dan China. Demikian disampaikan Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Sjukur Sarto, Kamis (23/12) di Jakarta.
“Kita kalah saing kalau 2011 tidak jadi titik tolak. Harus ada komitmen pemerintah untuk mensinkronkan hubungan industrial di Indonesia, termasuk mensinkronkan Undang-Undang,” katanya.
Menurut Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Rekson Siklaban, ada 3 hal yang menjadi musuh utama buruh di tahun 2010. Pertama, persoalan outsourcing dan buruh kontrak. Berdasarkan data Bank Dunia, sekarang ini persentase buruh permanen di Indonesia tinggal 35 persen. Padahal, lima tahun yang lalu masih 67 persen.
“Berarti, dari angkatan kerja formal yang jumlahnya 33 juta, hanya 9 juta saja yang memiliki pekerjaan permanen dan skenario hidup sampai pensiun,” katanya.
Rekson mengatakan, persoalan outsorcing dan buruh kontrak berkaitan erat dengan pengangguran terselubung. Data pemerintah menyebutkan, pengangguran terbuka saat ini 8,6 persen atau 9,2 juta orang. Akan tetapi , jumlah pengangguran terselubung yang bekerja di bawah 36 jam per minggu jarang disebutkan. Saat ini, jumlah pengangguran terselubung terus membengkak menjadi 32 juta dan semuanya sangat miskin.
Sistem outsorcing tidak selalu bagus. Outsorcing hanya bagus di tempat-tempat tertentu yang membutuhkan komitmen dan relasi jangka pendek.
Musuh kedua adalah Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Dulu, lembaga ini dianggap sebagai lembaga yang menyelesaikan masalah tenaga kerja secara adil. Kenyataannya, inilah lembaga yang diharapkan tidak bisa dimasuki buruh.
Proses peradilan yang lama, bisa memakan waktu 3 hingga 4 tahun, membuat buruh biasanya langsung menyerah. Kalaupun kemudian buruh menang, ada masalah dalam eksekusi. Lima tahun terakhir, dari keseluruhan kasus, 85 persen berakhir dengan kekalahan buruh atau negosiasi.
Musuh ketiga berkaitan dengan pengawasan. Meskipun ada Keputusan Presiden mengenai desentralisasi pengawasan, tetapi persoalan pengawasan tetap menghantui dunia perburuhan.
Menurut Rekson, akar dari seluruh permasalahan ini adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Angka outsorcing dan buruh kontrak terus memburuk sejak pelaksanaan UU tersebut. Jumlah kasus yang dimenangkan buruh di PHI pun terus menurun. Selain itu, tidak ada sanksi yang jelas dalam UU tersebut terkait pelanggaran terhadap buruh outsorcing dan kontrak.
“Kalaupun masuk pengadilan, tidak ada sanksi uang atau pidana,” katanya.
Rekson mengatakan, permasalahan ini semakin memburuk karena dipolitisasi. Menurutnya, ada pihak tertentu yang menggunakan draft palsu revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 untuk mengagitasi buruh turun ke jalan dan menolak revisi UU tersebut. Padahal, draft tersebut belum pernah dibicarakan di tripartit karena masih menunggu penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
“Seringkali, yang lebih banyak ke jalanlah yang didengar dengan dasar populis. Lembaga-lembaga fungsional harus mengambil alih fungsinya dengan benar dan pengambilan keputusan DPR tidak boleh berdasar rumor. Jangan lagi mobilisasi massa yang dipengaruhi politik menjadi dasar kebijakan pemerintah. Tunggu LIPI sehingga perdebatannya merupakan hasil kajian akademis,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi turut menyayangkan beredarnya draft palsu revisi UU Nomor 13 Tahun 2003. Pihaknya menyayangkan jika tekanan berupa penolakan revisi UU tersebut yang didasarkan pada draft palsu menjadi dasar keputusan DPR.
“Itu bukan dari LIPI, kami sudah cek,” katanya.
Terkait persoalan outsorcing, Sofyan menegaskan, ia sangat ingin para pengusaha tidak melakukan hal tersebut.
Menurut Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Thamrin Mosii, terkait persoalan ketenagakerjaan, seluruh pihak terkait harus duduk bersama. Walaupun DPR mengatakan UU Nomor 13 Tahun 2003 belum masuk prioritas tahun ini, tetapi perlu ada diskusi yang melibatkan semua pihak untuk melihat bagaimana solusi yang terbaik.
“KSPI melihat bahwa instrumen yang sekarang perlu dikedepankan adalah dialog sosial,” katanya.
Thamrin menambahkan, ia berharap di 2011 pemerintah segera menyelesaikan persoalan terkait UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
“Kami sangat mengharapkan pemerintah dengan segala kesungguhan menyelesaikan itu dan yang sangat urgent diharapkan serikat pekerja adalah Jamsostek harus bergeser dari payung BUMN yang orientasinya sekarang profit, bukan service. Memang harus jadi tanggungjawab pemerintah dalam kelembagaan, tapi jangan dalam bentuk BUMN. Jaminan sosial orientasinya pelayanan, bukan profit. Saat ini manfaat Jamsostek belum terasa,” katanya.
Selain itu, pemerintah juga harus bersiap diri terkait konsensus baru mengenai domestic workers oleh International Labour Organization (ILO) di 2011. Pemerintah harus menyiapkan respon sehingga konvensi itu bisa jadi UU di negara kita dalam rangka perlindungan pekerja rumah tangga.

Rabu, 15 Desember 2010

Tentang Kamu

kamu mengajariku bersyukur
untuk mimpi yang mengabur
untuk semua harap yang terbentur

kamu memaksaku memberi
dan tak kuasa pergi
walau tak pernah ada janji

kamu membuatku merasa utuh
ketika satu sisi hatiku tersentuh
meski dengan cara yang begitu rapuh

*ditulis sambil makan burger di restoran yang ramai dengan balita setelah menyelesaikan kewajiban menulis berita.. :D

Senin, 06 Desember 2010

Tentang Kesabaran

Tulisan ini masih tentang hubungan saya dan Mama hehe. Wanita satu ini memang inspirasi besar dalam hidup saya. Dan bicara tentang sabar selalu membuat saya ingin bicara tentang Mama.
Ia telah melewati banyak hal dalam hidupnya. Banyak hal yang membuat saya takjub dengan ketegarannya. Hal-hal yang membuat Mama berkata, "Hidup kalian nggak boleh seperti hidup Mama. Kalian nggak boleh terhinakan."
Sungguh, pilihan kata Mama itu sama sekali nggak lebay. Dan karenanya, saya bergetar setiap mengingat harapannya itu. Harapan agar hidup kami tidak seperti hidupnya.
Mama selalu suka menasehati kami bersabar. Dan yang selalu berulang dikatakannya, "Sabar bukanlah menyerah. Sabar adalah tidak berhenti berjuang."
Maka, sebaris kalimat itu, kami tancapkan dalam hati. Bulir-bulir kesabaran kami jaga. Tak boleh dan tak pernah boleh terlepas.
"Jangan pernah bilang, habis sudah kesabaran saya. Jangan," Mama menekankan kata "jangan" begitu dalam.
"Setiap merasa kesabaran hamnpir habis, mintalah lagi kepada Allah," katanya.
Dan perbincangan tentang kesabaran kami tutup dengan sebuah pelukan.
:)

Doa 6666 Malaikat

Saya sangat suka berbincang dengan Mama. Tepatnya, pada bagian-bagian dimana saya berkesempatan mendengar lantunan-lantunan nasehat yang seindah mutiara. Saya suka, selalu suka mendengar nasehat Mama.
Kadang, nasehat yang sama dibicarakannya berulang. Dan saya tak pernah bosan, justru selalu ingin mendengarnya kembali. Nasehat itu pun saya putar ulang di kepala saat saya tahu, saya membutuhkannya.
Dari semua perbincangan dengan Mama, salah satu yang paling berkesan adalah perbincangan tentang khatam Al Qur'an. Tentang "rahasia yang indah".
"Selalu sempatkan baca Al Qur'an, setiap hari," begitu Mama membuka nasehatnya.
"Setiap kali khatam, akan ada 6666 malaikat yang hadir dan mendoakan," lanjut Mama.
Dan saya tersenyum. Untuk satu lagi mutiara yang Mama bagi. Untuk belaian lembutnya di kepala saya. Untuk 6666 malaikat.
:)

Minggu, 05 Desember 2010

Bincang-bincang
Indonesia Bagai Mutiara Dalam Air

Pada Jumat (3/12) pagi, tiga wartawan Jurnal Nasional Ayu Lazuardi Mutmainnah, Taufan Sukma dan Suhartono berkesempatan bincang-bincang dengan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan di kantornya yang sejuk di Jakarta.

Gita bercerita tentang investasi Indonesia, jawaban terhadap kritikan tentang nasionalisme ekonomi, dan daya tarik Indonesia di mata investor dunia. Kinerja makroekonomi yang bagus dan konsisten, membuat Indonesia kini sudah masuk radar investor dunia. Indonesia, menurut Gita, kini bagaikan mutiara yang sudah terlihat di air. Bukan lagi mutiara dalam lumpur. Berikut petikan perbincangan dengan Gita.

Bagaimana investasi di Indonesia terutama di 2011?

Prospeknya lumayan positif. Tapi ini semuanya benar-benar tergantung penyikapan kita mengenai pembangunan infrastruktur dan ini sudah seringkali dibicarakan. Ini tergantung penyikapan pemerintah pada Public Private Partnership (PPP) atau Kemitraan Pemerintah Swasta. Kita sedang mengupayakan Perpres terkait PPP. Mudah-mudahan kita harapkan selesai dalam 1 sampai 2 bulan ke depan. Itu akan mendefinisikan investasi di 2011 seperti apa. Kemarin sudah ditandatangani MoU dengan Bappenas dan Kemenkeu untuk kepentingan BKPM menjadi pintu gerbang dalam PPP.

Pak Gita pernah bilang Kemitraan Pemerintah Swasta atau PPP ini menjadi taruhan Bapak. Bisa dijelaskan?

PPP bukan hanya mendefinisikan kita saja di BKPM tapi akan mendefinisikan kapasitas kita mendatangkan investasi dari dalam dan luar negeri dengan skala yang jauh lebih besar karena tentunya tanpa infrastruktur, kita akan biasa-biasa saja. Walaupun kalau kita lihat sekarang realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun ini pada tiga kuartal pertama kan sudah Rp149,6 triliun. Itu sudah sedikit di bawah target untuk setahun yaitu Rp160,1 triliun. Itu kalau kita lihat per kuartalnya sekitar Rp50 triliun, kalau untuk satu tahun kurang lebih bisa Rp200 triliun. Ini bisa dibilang lumayan bagus kalau dibandingkan tahun lalu yang hanya Rp133,3 triliun.

Tapi apakah angka ini akan terus bisa meningkat? Itu kan asumsi gampang. Tapi asumsi gampang itu hanya bisa terealisasi kalau ada prasarana, infrastruktur. Tanpa ada jalan dan pembangkit listrik saya rasa kecil kemungkinannya.

Saya mau kasih konteks lagi. Jadi target kita untuk lima tahun, 2009-2014 itu adalah Rp1500 triliun untuk PMA serta PMDN. Dan itu dalam konteks Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebesar Rp10.000 triliun.

Porsi PMA serta PMDN lima tahun itu Rp1500 triliun. Kalau kita mencapai Rp200 triliun di tahun pertama, sisanya itu kan masih ada Rp1300 triliun dibagi empat. Itu Rp325 triliun rata-rata per tahun. Jadi kalau saya hitung kasarnya itu tahun 2014 kita harus mencapai realisasi investasi sekitar Rp550 triliun. Ini fantastis kan? Ini kalau mikir gampanglah. Nah, apakah kita bisa mencapai Rp550 triliun? Saya rasa tidak gampang tanpa dukungan dari prasarana.

Kedua, angka investasi sudah meningkat secara keseluruhan dan angka PMDN sudah meningkat secara persentase. Terus yang ketiga, distribusi modal ke luar Jawa sudah meningkat. Lima tahun sebelumnya sampai tahun 2009, 80 persen penanaman modal di Jawa, 20 persen di Sumatera, Kalimantan dan ribuan pulau lainnya tapi mayoritas di Sumatera dan Kalimantan.

Sekarang kurang dari 80 persen di Jawa, lebih dari dua puluh persen di luar Jawa dan lebih spread out (menyebar). Sudah lumayan banyak ke Indonesia Timur. Kita upayakan bagaimana kita meningkatkan kuenya dan persentase PMDN dan juga persentase non Jawa. Itu misi kita.

PPP, perkembangannya bagaimana?

Jalan tapi ini kan banyak instansi. Dengan Kementerian Perhubungan, Wapres, Menko Perekonomian, Pemda di level Gubernur dan Bupati. Makan waktu tapi saya sih optimistis tahun ini Perpres jadi. Plus minuslah satu dua bulan.

Padahal masalah terbesar di Indonesia adalah koordinasi. Ada solusi?

Solusinya ketabahan dan kesabaran (seraya tertawa..hahaha). Kita harus ikhlaslah. Banyak teman-teman saya di luar yang lihat Indonesia begini putus asa tapi banyak juga yang lihat ini opportunity (peluang). Kalau saya melihat opportunity-nya luar biasa. Indonesia ini tesis investasi yang sangat seksi.

Bisa dijelaskan ide Anda tentang smart capital?

Smart capital itu pemikirannya lebih kepada supaya uang yang datang ke Indonesia jangan mengambil emas kita saja, batu bara kita saja, bauksit kita saja tapi kalau bisa ada alih teknologi. It makes Indonesia smart. Duit yang ditaruh di sini itu dipakai untuk mengelola sumber daya kita sehingga ada value creation (penciptaan nilai) di Indonesia. Membuat kita belajar dan juga bisa jadi entrepreneur. Nah, ini kan ada konsep kemitraan dan investasi dari luar. Itu smart menurut saya.

Untuk mendatangkan uang dari dalam dan luar negeri itu tidak sulit asalkan kerangka regulasinya jelas. Investor lihatnya gampang. Ada stabilitas, ada keamanan, dan ada kepastian hukum dan tentunya ada pasar. Dan penyikapan mengenai tesis investasi di Indonesia itu straight forward (langsung menuju sasaran) sekali. Jadi, sangat menarik. Populasinya 240 juta, demografiknya 60 persen di bawah 39 tahun dan 50 persen di bawah 29 tahun. Dan komitmen pemerintah untuk mengedukasi masyarakat luas itu luar biasa dibandingkan lima sampai enam tahun yang lalu. Semakin orang itu berpendidikan tentunya semakin dinamis populasinya.

Stabilitas makro yang ada secara fiskal, GDP rasio utang kita 27 persen, defisit anggaran kita cuma 1,6 persen. Moneter kita situasinya sangat terjaga. Suku bunga Bank Indonesia tidak pernah naik dari 6,5 persen. Dan secara keseluruhan likuiditas yang ada di perbankan yang dollar saja di atas US$30 miliar dan yang rupiah di atas Rp600 triliun. Lalu cadangan devisa kita sudah US$93 miliar. Kalau dibandingkan apalagi negara-negara Eropa, dengan negara-negara Asia lainnya juga saya rasa postur fiskal dan postur moneternya nggak secantik Indonesia. Investor manapun juga pasti akan tertarik Indonesia.

Indonesia seperti mutiara dalam lumpur?

Sudah tidak di lumpur lagi. Kalau menurut saya sudah di air sekarang. Sudah kelihatan. Tinggal airnya agak keruh sedikit. Bagaimana kita membersihkannya. Dan penyikapan investor tidak perlu hari ini selesai. Tapi bagaimana lima sampai sepuluh tahun ke depan.

Perekonomian kita sekarang sudah US$700 miliar. Kalau kita ekstrapolasi di tahun 2020 mestinya sih US$2 triliun. By that time (sampai tahun 2020 itu), populasi kita diramal masih di bawah 300 juta jiwa, sekitar 260 juta. GDP per kapita kita sudah hampir US$10.000-lah. Kalau mengacu ke ucapannya Pak Boediono (Wakil Presiden), demokrasi sudah sangat bisa suistanable kalau GDP sudah sekitar US$6.000. Mestinya tahun 2019-2020, potret dan corak Indonesia sudah berbeda.

Kalau prediksi Goldman Sachs, pendapatnya agak beda dengan saya. Mereka beranggapan Indonesia tahun 2019-2020 hanya bisa tumbuh dengan US$400 miliar sampai US$500 miliar dari sekarang. Kalau sekarang US$700 miliar dolar, jadi perekonomian kita tahun 2019 atau 2020 itu hanya US$1,1 triliun atau US$1,2 triliun. Saya kurang sepakat. Menurut saya sudah bisa melampaui US$2 triliun kalau kita tumbuh 6 persen per tahun. Apalagi kalau bisa 7,8 atau 9 persen.

Tentang nasionalisme ekonomi. Ada kritikan yang katanya Anda membela asing. Lalu bagaimana Anda menjawabnya?

Jelasnya, kami memprioritaskan permodalan dari dalam negeri. Namun perlu keterbukaan untuk memenuhi capaian kesejahteraan. Tentu hal tersebut diwujudkan dengan penuh kepekaan dan pengabdian terhadap prinsip kedaulatan. Saya menghormati dan menghargai pandangan yang berbeda-beda. Apalagi mengingat tujuan yang ingin kita capai sama. Yaitu kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.



Soal persepsi buruk Indonesia di luar?

Sudah mulai berubah. Lihat saja angkanya. The number speaks. Angka bisa meningkat lumayan baik karena sudah terjadi perubahan persepsi. Saya memang waktu awal menceritakan Indonesia terlalu sering tampil di media internasional atau prisma internasional sebagai negara yang penuh dengan demonstran. Orang bawa bendera, masuk ke pengadilan untuk putusan korupsi, korban dari tsunami, gempa bumi. Yang begitu-begitu saja.

Orang lupa bahwa di belakang itu ada potret-potret yang cantik mengenai Indonesia dari sisi politik dan perekonomian. Itu tetap saya ceritakan tapi saya ceritakan itu dengan realisme tertentu. Dalam arti saya tidak mau terlalu bombastis juga karena kalau saya swing pendulumnya dari kiri ke kanan terlalu cepat dan terlalu awal. Bablas nanti kalau saya tidak bisa memberikan beberapa hal yang saya janjikan dan saya tidak bisa memanage audience. Jadi secara realistis saja saya cerita.

Oke, saya terima ada kondisi-kondisi yang memang tidak bisa kita elakkan dalam arti gempa bumi terjadi, tsunami terjadi, memang masih ada korupsi. Tapi penyikapannya apakah kita punya kapasitas untuk mengurangi korupsi yang ada? Tentu dong. Kita sudah menaruh ratusan orang dalam penjara. Dan ke depannya ini akan lebih banyak lagi kawan-kawan yang muda, yang lebih educated (berpendidikan) dan berpikir dalam abad 21 ini.

Tentang kebijakan quantitative easing atau pencetakan uang dari Amerika Serikat. Ada pendapat arus modal yang nantinya akan deras masuk ke Indonesia itu nantinya bisa membuat inflasi tinggi. Padahal Indonesia butuh modal. Bagaimana?


Mengenai quantitative easing di Amerika, money supply yang diciptakan bank entral AS ini kebanyakan akan digunakan untuk membeli obligasi pemerintah AS. Sejauh ini jumlah quantitative easing yang akan disalurkan sampai akhir triwulan ketiga 2011 US$900 miliar. Sebagian dari jumlah ini tentu akan meluap dalam bentuk arus

modal yang meningkat ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Tapi saya

tidak membayangkan bahwa porsi dari jumlah ini adalah cukup besar untuk menimbulkan inflasi di Indonesia. Prospek likuiditas tersebut akan mungkin masuk dan akan menyerap instrumen-instrumen yang ada di Indonesia. Kemungkinan terjadinya pelemahan kurs dolar Amerika atas hal tersebut tentu akan ter-offset hal-hal seperti terjadinya krisis keuangan di beberapa negara di Eropa, termasuk Irlandia.

Ke depan apa yang harus dilakukan Indonesia?

Pertama, tentunya image building, counter opinion. Opini-opini negatif tentang Indonesia harus kita terima dan harus kita lawan. Yang kedua, tentunya penyisiran kerangka regulasi supaya layak dan adil untuk pengusaha dalam negeri dan luar negeri. Yang ketiga, tentunya bagaimana kita bisa benar-benar menyikapi investment roadmap (peta jalan investasi) kita yang kalau saya lihat terdiri dari empat fase.

Fase pertama, bagaimana kita bisa mendatangkan duit ini dengan skala besar dalam konteks low hanging fruits, buah-buah yang gampang dipetik. Jadi tentunya, duit-duit yang masuk buat ngambil batu bara kita tangkap lalu kita edukasi mereka. Jangan mengambil batubaranya, kalau bisa bangun pembangkit listriknya di sini. Jangan mengambil minyaknya, bangun kilangnya di sini.

Yang kedua, fase pembangunan infrastruktur yang lunak dan nonlunak. Yang lunak seperti pendidikan, yang nonlunak jalanan dan pembangkit listrik. Yang ketiga adalah fase industrialisasi. Ini penting sekali. Kita tidak bisa berpikir jualan batu bara saja. Kita harus naik tingkat.

Kalau kita memikirkan industrialisasi, ibunya industrialisasi ini adalah baja. Negara kita ini masih mengonsumsi baja 30 kilogram (kg) baja per kapita per tahun. Itu dalam konteks pemikiran internasional, kita masih belum menjadi bangsa yang modern. Bangsa yang modern itu adalah bangsa yang sudah mengonsumsi baja sekitar 500 kg per kapita per tahun. Korea Selatan saja sudah mengonsumsi sekitar 1200 kg per kapita per tahun.

Nah, untuk naik dari 30 kg ke 500 kg agar kita bisa menjadi bangsa yang modern, kita harus meningkatkan kapasitas produksi baja menjadi sekitar 120 juta ton per tahun. Kita hanya punya kapasitas produksi 3 juta, konsumsinya 7,2 juta. Ini kita harus bangun sekitar 113 juta ton kurang lebih butuh dana US$120 miliar karena per satu juta ton butuh US$1 miliar.

Jadi pilihannya ada di tangan kita, mau jadi bangsa yang modern atau tidak. Kalau kita mau menjadi bangsa yang modern, kita harus berani mengeluarkan uang US$120 miliar untuk membangun kapasitas produksi baja sebesar 120 juta ton per tahun agar kita bisa mengonsumsi baja sebesar 500 kg per tahun per kapita.

Baru peta jalan investasi keempat fasenya knowledge basical (berbasis ilmu pengetahuan). Di mana kita bisa memposisikan Indonesia sebagai negara berpengetahuan.

Rabu, 01 Desember 2010

..perjalanan hati.. :)

Malam ini, saya tidak berniat menulis di sini. Saya hanya iseng mengetikkan nama di google dan menemukannya, rumah yang lama tidak saya kunjungi. Dan ternyata, saya rindu pulang.
Pertama kali rumah ini didirikan, saya ingin menjadikannya tempat berbagi cerita tentang aktivitas jalan-jalan. Aktifitas yang sangat saya sukai dan sepertinya menjadi aktifitas utama di masa kuliah dulu hahaha. Sesederhana itulah alasan saya menamakannya "jalan-jalan".
Ngomong-ngomong soal jalan-jalan, enam bulan ini saya banyak jalan-jalan ke berbagai tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Malah, setelah dua puluh dua tahun hidup di dunia, baru di bulan-bulan inilah saya berkesempatan naik pesawat terbang hehehe, norak ya.
Kali ini, saya juga akan menulis soal jalan-jalan. Tapi ini jalan-jalan yang berbeda.Seperti judul di atas, ini kisah perjalanan hati.
Hmmm, sesulit mengenal hati sendiri, saya pun kesulitan memulai kisah ini.Karena tidak menemukan kalimat berita yang sesuai, izinkan saya memulainya dengan pertanyaan. Pertanyaan yang agak norak. Pernah jatuh cinta? Aduh, terlalu norak ya. Ganti aja deh. Menurutmu, seharusnya cinta itu gimana? Heu, tetap norak tapi biarlah.
Menurut saya, seharusnya cinta itu tumbuh dan butuh waktu. Seharusnya, cinta ada karena mengenal. Setidaknya sampai beberapa bulan yang lalu, saya masih berpikir beitu. Sampai beberapa bulan yang lalu, saya masih menertawakan cinta yang impulsif. Hingga kemudian, saya menertawakan diri sendiri. Saya mengalami cinta yang impulsif seimpulsif-impulsifnya. Dan kalau ditanya bagaimana kondisi saya saat ini, masih proses penyembuhan patah hati hehe.
Tetapi semua ini mengingatkan saya pada sesuatu, sebuah buku. Beberapa tahun lalu, saya membeli sebuah buku berjudul Yusuf dan Zulaikha. Alasan saya membelinya sederhana saja, sejak kecil saya penasaran kenapa akhirnya Yusuf menikah dengan Zulaikha hehe. Tetapi yang akan saya bagi di sini adalah prolog pada buku itu. Pada satu bagian prolog, ada sebuah kisah pendek. Kisah tentang perjalanan, hati, dan cinta.
Suatu ketika di suatu tempat, hiduplah seorang pemuda yang ingin meningkatkan keimanannya. Maka, didatanginya seorang pria tua bijaksana dan bertanya bolehkah ia menjadi muridnya. Pria tua itu tak begitu saja menjawab, tapi justru bertanya.
"Pernahkah kau jatuh cinta?" ujar pria tua itu dengan raut muka tercerahkan, bijak, tenang, dan jauh dari kesan norak.
Sang pemuda, menjawab singkat, "Belum."
Pria tua pun berkata, " Pergilah dan jatuh cintalah."
Ya, itulah yang dikatakan sang pria tua bijaksana pada pemuda yang ingin menjadi muridnya. Ia menyuruhnya jatuh cinta terlebih dahulu.
Kau tak akan pernah merasakan nikmatnya anggur dari cawan keimanan, sebelum kau jatuh cinta. Maka, jatuh cintalah. Tetapi jangan biarkan dirimu terlalu lama terlena dalam "cinta" itu. Setelah kau tahu rasanya jatuh cinta, raihlah cinta yang lebih tinggi. Hingga suatu saat kau akan mengerti perasaan Ibrahim ketika berkata, "Aku tak mencintai ia yang tenggelam." Kau akan berpaling pada cinta yang abadi.
Selanjutnya, kau akan tahu mengapa mantra Ibrahim saat anak buah Namrud membakar tubuhnya adalah mantra yang begitu ampuh. Itulah mantra cinta yang abadi. Hasbiyallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’mannashiir.
Dari Ibrahim ,marilah kita berbicara tentang Adam. Sebulan yang lalu, ibu saya menceritakan sebuah kisah tentang manusia pertama tersebut. Tentang pertemuan Adam dan Hawa di Jabal Rahmah.
Taukah kau doa Adam selama seratus tahun terpisah dari Hawa? Bukan doa meminta dipertemukan tetapi doa minta amnpun. Doa yang lahir karena tahu dirinya berdosa.
"Dan di malam pertama pertemuannya dengan Hawa, Adam terbangun dari tidurnya. Ada gelisah yang membangunkan kesadarannnya. Gelisah yang tak hilang walaupun Hawa kini kembali menemaninya. Gelisah karena rasa berdosa. Maka dengan bercucuran air mata, ia kembali mengucapkan doa itu," begitu ibu saya bercerita.
Doa itu, doa Adam, ternyata adalah lantunan kalimat yang sering saya dengar dari towa-towa masjid di kampung tempat empat tahun pertama hidup saya. Lantunan yang selalu saya sukai. Saya baru tahu, ternyata itu doa Adam. Maka lantunan itu pun kembali terngiang dalam ingatan saya.
Rabbana ya rabbana... dzolamna anfusana... waillam taghfirlana... watarhamna lanakuunanna minal khasirin...
Ya Allah, Tuhan kami, sungguh kami telah menganiaya diri kami sendiri. Dan apabila Engkau tidak mengampuni serta menyayangi kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi…
Dan setelah doa-doa itu, saya teringat satu lagi percakapan dengan ibu saya. Teringat ketika wanita itu berkata, "Banyak-banyaklah mengingat Allah agar menjadi pemenang."
Sungguh, cukup sudah "jatuh cinta" ini. Saya akan meninggalkannya dengan penuh rasa syukur atas kesempatan mengalaminya.
Thanks, Allah :)